Senin, 29 November 2010

KPK - Kasus GAYUS

10 Alasan KPK Layak Ambil Alih Kasus Gayus

Minggu, 21 November 2010 | 15:40 WIB

Febrydiansyah koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) divisi Hukum (Kiri) dan Donald Fariz Peneliti ICW saat konfrensipres di kantor ICW, Jakarta. TEMPO/Aditia Noviansyah
TEMPO Interaktif, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi kembali didesak mengambil alih kasus terdakwa mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan. Kali ini desakan datang dari pegiat antikorupsi Indonesia Corruption Watch.

"(Sebab) ada sejumlah kejanggalan dalam penanganan kasus Gayus, membuktikan syarat pengambilalihan kasus oleh KPK terpenuhi," ujar Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Febri Diansyah dalam konferensi pers di kantornya, Ahad (21/11).

Menurut dia, dalam Undang-undang KPK pasal 9, ada tiga alasan yang bisa digunakan lembaga antikorupsi itu untuk mengambil alih kasus dari Kepolisian dan Kejaksaan. Pertama, jika penanganan korupsi justru melindungi koruptor yang sesungguhnya. Kedua, kalau penanganannya malah mengandung unsur korupsi. Terakhir, bila penanganan tersebut sulit dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan.

"Kalau masih ditangani Kepolisian, pasti kemungkinan besar hanya menangkap teri dan melepas paus. Karena jaringnya memang cuma disiapkan untuk menangkap teri," ucap Febri, bertamsil.

Ia meminta KPK pun tak bersikap manja dan hanya menunggu Kepolisian menyerahkan kasus tersebut. "Kalau diserahkan ke Kepolisian, itu sama saja bohong, berarti KPK berkontribusi membiarkan mafia menang. Bazooka KPK jangan hanya disimpan di gudang tapi harus digunakan," katanya.

Peneliti Hukum ICW Donal Fariz membeberkan, ada sepuluh kejanggalan di sekitar pengusutan Gayus. Yang pertama, Gayus cuma dijerat dengan kasus PT SAT dengan kerugian negara Rp 570,95 juta, bukannya masalah utama, yakni kepemilikan rekening RP 28 miliar. Kedua, polisi sudah menyita safe deposit Gayus yang nilainya Rp 75 miliar, tetapi tak jelas pengusutannya hingga kini. 

Lantas, polisi belum juga memproses tiga perusahaan Bakrie, yakni Kaltim Prima Coal, Arutmin, dan Bumi Resources. Padahal dalam sidang dan Berita Acara Pemeriksaannya, Gayus telah mengakui menerima US$ 3 juta untuk mengurus masalah pajak tiga korporasi itu. "Alasan kepolisian terkesan mengada-ada, misalkan tentang belum cukupnya alat bukti. Mestinya kesaksian Gayus sudah menjadi alat bukti sah di mata hukum," tuturnya.

Keempat, polisi tampaknya melokalisir kasus hanya sampai perwira menengah, yakni Kompol Arafat dan AKP Sri Sumartini. "Aneh sekali, semakin kuat kita menyimpulkan bahwa oknum polisi terlibat, ada upaya melindungi petinggi polisi," ujarnya.

Donal pun menilai aneh perihal personil Direktorat Jenderal Pajak yang telah menjadi tersangka, yakni Humala Napitupulu dan Maruli Pandapotan Manulung. Seharusnya atasan mereka, setidaknya Kepala Sub Direktorat Pengurangan dan Keberatan Johny Marihot Tobing serta Direktur Keberatan dan Banding Bambang Heru Ismiarso, juga diusut keterlibatannya.

Keenam, Juni lalu Markas Besar Kepolisian menetapkan Jaksa Cyrus Sinaga dan Poltak Manulang sebagai tersangka kasus suap dalam penggelapan pajak, tetapi status Cyrus mendadak berubah menjadi saksi. 

Ketujuh, Kejaksaan Agung lantas malah melaporkan Cyrus ke kepolisian terakit bocornya rencana penuntutan, bukan karena dugaan suap dan penghilangan pasal korupsi plus pencucian uang dalam dakwaan. "Langkah ini diduga sebagai siasat melokalisir permasalahan dan mengorbankan Cyrus sendiri," ucapnya.

Kedelapan, Direktorat Pajak terkesan enggan memeriksa ulang pajak perusahaan yang diduga menyuap Gayus. Alasannya, mereka menunggu novum alias bukti baru. 

Kejanggalan kesembilan, Gayus bisa seenaknya keluar dari tahanan dan plesir ke Bali memakai identitas palsu. "Ini menunjukkan polisi tidak serius mengungkap kasus, dan Gayus memiliki posisi tawar kuat kepada pihak yang pernah menerima suap atau servisnya saat menjadi pegawai Pajak," tutur Donal. Dan yang terakhir, polisi berkukuh menolak kasus Gayus diambil alih KPK.

BUNGA MANGGIASIH
http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/11/21/brk,20101121-293223,id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar